Rabu, 14 Januari 2009

Si Dia Playboy, Kok Bisa?

SAAT merasa tingkahlaku si dia janggal karena sering bergonta-ganti pasangan dan memainkan perasaan, Anda mungkin akan berpikir dirinya seorang playboy. Tapi eits, jangan salah, ternyata istilah playboy dalam tahap perkembangan manusia itu tidak ada.

Menurut psikolog Bondan Seno Prasetyadi, playboy sebenarnya hanya tempelan nama yang diberikan masyarakat. Sedangkan secara psikologi, istilah playboy itu tidak ada. Nah, mereka yang melakukan hal tersebut harus dilihat dari usianya.

"Kalau seorang pria yang masih berada dalam tahap remaja sampai dewasa awal (17-30 tahun) membina hubungan dengan lawan jenisnya lebih dari satu, maka sah-sah saja dilakukan. Karena saat itu merupakan masa penjajakan bagaimana mereka mengenal lawan jenis," ucap Bondan saat berbincang dengan okezone melalui telepon genggamnya, Kamis (30/10/2008).

Dijelaskan oleh psikolog dari PT Mitra Langgeng Sejati ini, istilah playboy berbenturan dengan unsur budaya. Pada manusia, unsur-unsur budaya menjadi lebih penting dibandingkan dengan psikologi perkembangannya.

Lebih lanjut Bondan mengungkapkan, dalam tahap perkembangan manusia, saat seorang pria berada di tahap remaja awal maka tugas perkembangannya adalah mengenal pasangan lawan jenisnya. Jadi saat berada dalam tahap ini boleh mengenal siapa saja dan berkencan dengan siapa saja. Tapi saat sudah menikah, hal itu tidak boleh dilakukan lagi.

"Dalam membina sebuah hubungan, ada unsur perasaan tidak enak karena dalam perjalanannya ada ikatan komitmen. Tapi ikatan tersebut hanya terbentuk karena adanya rasa saling suka dan kepentingan hobi atau kesamaan minat, jadi saat sudah tidak cocok bisa putus kapan saja dan kembali membina hubungan dengan yang lain. Sementara bila sudah menikah, perilaku tersebut sudah tidak bisa dilakukan lagi," paparnya.

Lantas pertanyaannya kini, bagaimana bila perilaku playboy itu terus berlanjut sampai seorang pria menikah? Mengenai hal itu, psikolog lulusan Universitas Gunadarma ini mengungkapkan cara pandangnya.

"Kalau sampai menikah seorang pria masih saja playboy, berarti waktu remaja awal tugas-tugas perkembangannya tidak sukses. Karena kalau saat menjalani tahap ini berjalan sukses, maka harusnya dia sudah puas. Akhirnya bermanifestasi, jadi di usianya yang tidak sepantasnya melakukan hal tersebut, malah kebalikannya," ungkap ayah satu orang puteri ini.

Bahkan, sambung Bondan, masalah pola asuh orangtua dan lingkungan juga turut memengaruhi perkembangan seseorang.

"Kalau perilaku playboy terulang lagi saat sudah menikah berarti ada pembentukan karakter dan attitude yang namanya habit. Dan itu tak lepas dari pola asuh, kontrol, dan komunikasi orangtua. Selain itu, lingkungan pun mendukung hal itu terjadi," pungkasnya (nsa)

Diambil dari : Okezone.com

SAAT merasa tingkahlaku si dia janggal karena sering bergonta-ganti pasangan dan memainkan perasaan, Anda mungkin akan berpikir dirinya seorang playboy. Tapi eits, jangan salah, ternyata istilah playboy dalam tahap perkembangan manusia itu tidak ada.

Menurut psikolog Bondan Seno Prasetyadi, playboy sebenarnya hanya tempelan nama yang diberikan masyarakat. Sedangkan secara psikologi, istilah playboy itu tidak ada. Nah, mereka yang melakukan hal tersebut harus dilihat dari usianya.

"Kalau seorang pria yang masih berada dalam tahap remaja sampai dewasa awal (17-30 tahun) membina hubungan dengan lawan jenisnya lebih dari satu, maka sah-sah saja dilakukan. Karena saat itu merupakan masa penjajakan bagaimana mereka mengenal lawan jenis," ucap Bondan saat berbincang dengan okezone melalui telepon genggamnya, Kamis (30/10/2008).

Dijelaskan oleh psikolog dari PT Mitra Langgeng Sejati ini, istilah playboy berbenturan dengan unsur budaya. Pada manusia, unsur-unsur budaya menjadi lebih penting dibandingkan dengan psikologi perkembangannya.

Lebih lanjut Bondan mengungkapkan, dalam tahap perkembangan manusia, saat seorang pria berada di tahap remaja awal maka tugas perkembangannya adalah mengenal pasangan lawan jenisnya. Jadi saat berada dalam tahap ini boleh mengenal siapa saja dan berkencan dengan siapa saja. Tapi saat sudah menikah, hal itu tidak boleh dilakukan lagi.

"Dalam membina sebuah hubungan, ada unsur perasaan tidak enak karena dalam perjalanannya ada ikatan komitmen. Tapi ikatan tersebut hanya terbentuk karena adanya rasa saling suka dan kepentingan hobi atau kesamaan minat, jadi saat sudah tidak cocok bisa putus kapan saja dan kembali membina hubungan dengan yang lain. Sementara bila sudah menikah, perilaku tersebut sudah tidak bisa dilakukan lagi," paparnya.

Lantas pertanyaannya kini, bagaimana bila perilaku playboy itu terus berlanjut sampai seorang pria menikah? Mengenai hal itu, psikolog lulusan Universitas Gunadarma ini mengungkapkan cara pandangnya.

"Kalau sampai menikah seorang pria masih saja playboy, berarti waktu remaja awal tugas-tugas perkembangannya tidak sukses. Karena kalau saat menjalani tahap ini berjalan sukses, maka harusnya dia sudah puas. Akhirnya bermanifestasi, jadi di usianya yang tidak sepantasnya melakukan hal tersebut, malah kebalikannya," ungkap ayah satu orang puteri ini.

Bahkan, sambung Bondan, masalah pola asuh orangtua dan lingkungan juga turut memengaruhi perkembangan seseorang.

"Kalau perilaku playboy terulang lagi saat sudah menikah berarti ada pembentukan karakter dan attitude yang namanya habit. Dan itu tak lepas dari pola asuh, kontrol, dan komunikasi orangtua. Selain itu, lingkungan pun mendukung hal itu terjadi," pungkasnya (nsa)

Diambil dari : Okezone.com

0 komentar: